Senin, 31 Maret 2008

Membongkar Anomali Manajemen SDM PNS (Pemikiran Seputar Rencana Kenaikan Gaji PNS)

Berjalan di sebuah pusat perbelanjaan, terlihat antrian panjang mereka yang mendaftarkan diri untuk menjadi pembantu rumah tangga (PRT). Registrasi tersebut merupakan titik awal dari rangkaian proses seleksi untuk memilih calon yang paling pantas bekerja sebagai bedinda sekaligus – karena akan ditayangkan di layar kaca – pemeran utama sebuah – reality show.

Andaikan di sana juga dibuka loket pendaftaran penerimaan pegawai negeri sipil (PNS), di loket manakah para peminat akan lebih berkerumun? Pertanyaan ini, alih-alih terjawab, justru memunculkan sejumlah kesan tentang anomali yang pekat mewarnai pengelolaan sumber daya manusia di lingkungan birokrasi pemerintahan.

Hakikatnya, PRT adalah pekerjaan, sedangkan PNS merupakan profesi. Namun, faktualnya, berapa persen CPNS dan PNS yang memiliki mindrame membangun sebuah perencanaan karir? Secara hipotetis, kecil sekali. Jadi, meskipun PNS merupakan sebuah bidang kerja mulia (pengabdian) yang mensyaratkan keterlibatan paripurna, namun nyatanya tidak banyak yang berhasil mengaktualisasi – atau, setidaknya, mengenali – segala kornpetensi yang ada di kedalaman psyche-nya.

Agar dapat mengikuti proses seleksi, seorang pelamar CPNS dikenai daftar persyaratan administrasi yang amat panjang namun tidak substansial. Berbagai kelengkapan formalitas harus dipenuhi, yang berujung pada ketidaksangkilan alias pemborosan waktu, tenaga, dan uang. Timbunan berkas lamaran dan periode rekrutmen yang panjang adalah wujud konkritnya. Setelah hal-hal tersebut dilalui, para pelamar mengikuti sekian seri ujian yang dari tahun ke tahun tidak pemah mengalami pembaruan. Konservatif, tidak efektif. Padahal, seperti kata David McClelland (1973), rangkaian tes psikologi konvensional seperti itu tidak dapat memprediksi kinerja seseorang, bahkan sering kali bias terhadap minoritas, jenis kelamin, dan strata ekonomi.

Seleksi PRT, baik dalam acara “PRT untuk selebriti” maupun di yayasan-yayasan penyalur, justru lebih canggih. Mereka sudah menerapkan pengelolaan sumber daya manusia berbasis keahlian, sebuah sistem manajemen yang walau bukan barang baru namun lebih modern ketimbang mengandalkan pada pertimbangan tentang kelengkapan administrasi belaka. Surat ini dan itu tidak jadi soal, karena yang dicari adalah individu-individu yang memang terbukti mahir dan berpengalaman kerja. Karena lebih modern (baca substansial, praktis, dan relevan), tidak ada tindakan-tindakan manipulatif yang dapat mengotori seleksi PRT.

Kesinambungan kerja PRT pun ditentukan lewat parameter yang objektif, bukan – lagi-lagi – formalitas seperti daftar penilaian tahunan yang dipraktikkan pada setiap kantor pemerintahan. Mencengangkan karena, justru berkat rekrutmen berbasis keahlian, ditambah lagi dengan ketegasan majikan, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak mampu mengotori proses perekrutan terhadap seorang PRT!

Dari segi bargaining position, PRT dan PNS sama-sama lemah Tapi ironis, ‘modernisasi rekrutmen’ PRT ternyata masih belum mampu mengangkat citra PRT ke derajat yang setara, apalagi lebih tinggi, dengan PNS. PNS yang sejatinya pelayan tetap dianggap (atau paling tidak memandang dirinya sendiri) priyayi, sedangkan PRT tetap kacung, sebuah julukan untuk manusia yang kadang tidak diperlakukan secara manusiawi. Itu barangkali yang menjadi penyebab banyak orang yang memilih menjadi tukang sapu dengan iming-iming “PNS golongan”, daripada menjadi PRT dengan gaji bersih sekitar empat ratus ribu rupiah per bulan.

Revitalisasi

Pekerjaan sebagai PNS, berdasarkan logika, tidak akan mengundang minat siapapun, karena sangat sedikit orang yang bersedia - apalagi mampu – mengabdi tanpa didahului dengan kemampuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan mendasar pribadi. Tapi, nyatanya gelombang masif pelamar CPNS tetap berlangsung setiap tahun.

Pekerjaan sebagai PRT pun lazimnya tidak menjadi sebuah cita-cita, karena tidak memberi prospek apapun. Namun, dengan iming-iming tampil di televisi, kini lowongan PRT justru menjadi begitu atraktif dan orang-orang bersaing ketat memperebutkannya. Tingginya aatusiame menjadi “PRT untuk selebriti” sesungguhnya wajar, karena ia merupakan resultan dua faktor, yaitu tingginya bayaran (dalam reality show yang akan disiarkan itu, seorang PRT akan digaji sepuluh juta per bulan) dan kesempatan tampil di ajang gemerlap selebriti.

Uang dan ketenaran memang penting. Namun, bukan nominal dan popularitas yang perlu dipelajari untuk keperluan pembenahan manajemen SDM PNS. Kedua materi tersebut seyogianya dipandang sebagai manifestasi perhatian atau penghargaan terhadap nilai seseorang. Besar kemungkinan, pada acara berbasis kompetisi penuh semacam AFI, API, Indonesian Idol, dan sejenisnya, uang hanya menempati peringkat kesekian setelah pengakuan atas performance, yang diidamkan para kontestan.

Uang dipandang sebagai efek dari pengakuan. Pengakuan, dengan kata lain, adalah sesuatu yang dicari, yang jika telah berada dalam genggaman akan dengan gampang membuka lebar akses ke lumbung uang. Jelas, pengakuan hanya didapat oleh individu-individu yang dinilai tidak hanya mempunyai kompetensi mendasar, namun juga dilengkapi dengan kompetensi superior yang membedakannya dengan orang lain.

Dari paparan di atas, dapat dirumuskan bahwa untuk merevitalisasi kantor-kantor pemerintahan – sehingga orang-orang tidak hanya bersemangat untuk melamar, tetapi juga bergairah menampilkan kualitas kerja setinggi mungkin, perlu dibangun sebuah sistem yang dapat memunculkan persepsi bahwa setiap orang bisa memperoleh pengakuan.

Di sinilah letak persoalannya. Kendala yang ada di banyak institusi di Indonesia (baik swasta apalagi birokrasi pemerintahan) adalah dangkalnya job description yang digunakan sebagai instrumen untuk mengukur kesesuaian antara potensi kandidat dengan target yang harus dicapai. Dalam praktik di Indonesia, job description biasanya hanya mengilustrasikan tugas, tanggung jawab, dan fungsi umum suatu jabatan tanpa mengaitkannya secara terintegrasi dengan aspek kompetensi dan profil kandidat pemangku jabatan.

Idealnya, job description seperti ini perlu dikembangkan menjadi distinct job manual (DJM) yang deskriptif, konkrit, dan spesifik melekat pada suatu jabatan tertentu. Di dalam DJM diuraikan detil misi jabatan yang diemban, ilustrasi rinci tentang fungsi jabatan terkait, penjelasan mengenai pihak-pihak yang memiliki hubungan fungsional dan struktural, serta gambaran tentang lingkungan sesungguhnya yang khas muncul pada saat si pemangku jabatan menjalankan kegiatan kesehariannya.

DJM – berikut ramifikasinya – menjadi pedoman, baik bagi institusi maupun karyawan (termasuk PNS), untuk mengevaluasi kinerja setiap karyawan dalam periode waktu tertentu. DJM, dengan demikian, juga berfungsi sebagai alat pendisiplinan. Proses kerja menjadi terukur, sehingga pengakuan (prestasi) pun tercitra menjadi sesuatu yang dapat diraih oleh siapapun.

Dengan begitu, profesi PNS – seperti halnya “PRT untuk selebriti” – kelak akan menjadi lebih rasional dari hulu hingga ke hilir! Siapa yang mereguk manfaatnya? Masyarakat tentunya. Wallaahu a’lam.

Sumber: Majalah Human Capital No. 18 |

PNS Tidak Cocok Untuk …

by Romi Satria Wahono

Menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil), bagi sebagian orang Indonesia adalah sebuah dambaan, meskipun bagi sebagian lagi yang lain mungkin keengganan. Menjadi dambaan banyak orang sehingga antrean pengambil formulir pendaftaran CPNS selalu membludak setiap tahun. Orang merelakan apapun yang dia miliki untuk menjadi seorang PNS, baik uang puluhan juta rupiah, harga diri, dsb. Meskipun sudah ada upaya dari pemerintah untuk memperbaiki masalah rekrutmen PNS, baik melalui hukuman dan perbaikan sistem, tapi tetap saja masalah sogok, suap, atau apalah namanya adalah fakta yang terjadi di masyarakat.

Alhamdulillah saya tidak perlu melewati itu semua, karena kebetulan saya menjadi PNS bukan lewat jalur penerimaan biasa, tapi lewat beasiswa sekolah luar negeri dalam program STAID (sebelumnya bernama OFP dan STMDP) yang diinisiasi pak Habibie. Well, meskipun saya tidak pernah bercita-cita menjadi PNS, saya harus ikhlas melaksanakan perjanjian yang dulu saya buat sebelum berangkat ke Jepang. Dan secara dewasa saya harus mengakui bahwa ini adalah jalur jalan kehidupan saya, paling tidak sampai ikatan dinas 2n+1 saya berakhir ;)

Jujur, saat ini saya merasa fatique, penat dan bosan dengan kehidupan saya sebagai PNS. Mohon maaf bagi rekan-rekan saya sesama PNS, sekali lagi saya tidak bermasalah dengan anda semua, saya cinta anda semua dan sedang berdjoeang seperti anda-anda semua ;) Yang saya penatkan adalah behavior, sistem dan birokrasi yang ada di dalam institusi pemerintah. Biasanya yang menentramkan saya adalah sahabat saya yang lagi nongkrong di jerman, yaitu Made Wiryana yang sering mengatakan bahwa, yang paling gampang itu memang kalau kita memilih berdjoeang di luar, bebas dan tidak terikat. Penghargaan yang besar kepada rekan-rekan yang memilih berdjoeang di dalam institusi pemerintah, membuat inovasi serta perbaikan dari dalam.

Nah saya ingin menshare suatu ide, pandangan dan referensi sebelum saudara-saudara saya tercinta di seluruh Indonesia memilih untuk menjadi PNS. Tentu yang saya sampaikan ini masih bersifat subjektif, masih hanya analisa di satu atau dua institusi pemerintah, dan perlu satu langkah diskusi, survey atau penelitian yang komprehensif sebagai upaya objetifikasi ide. Poin-poin yang saya sampaikan di bawah juga masih bisa ditambahi, dikurangi, dihapus atau bahkan diturunkan kalau muncul desakan di sana sini ;) Mudah-mudahan ide ini bisa jadi gambaran sehingga tidak ada lagi orang yang salah jalan menempuh jalan terjal dan mendaki menjadi PNS, padahal itu sebenarnya tidak cocok untuk dirinya.

Jadi menurut saya, sekali lagi “menurut saya”, PNS tidak cocok untuk orang-orang seperti di bawah:

  1. Orang yang ingin melakukan perubahan, perbaikan, membuat inovasi baru dan berharap itu akan terimplementasikan dalam waktu cepat. Perubahan, perbaikan berjalan lambat karena sistem (baik dalam konotasi baik maupun buruk ;) ) sudah berjalan sangat lama dan turun temurun. Anda mau nekat? anak kemarin sore dan pahlawan kesiangan adalah gelar abadi anda :(

  2. Orang yang tidak suka melihat uang dan anggaran dipermainkan, diputar-putar dan dipatgulipat. Orang yang memandang bahwa permainan anggaran, permainan perencanaan kegiatan adalah kegiatan yang salah, penuh dosa dan akan mendapatkan balasan setimpal di akherat kelak. Perlu dicatat juga bahwa banyak juga ”PNS lurus” yang tidak menyadari bahwa beberapa fasilitas dan honor yang diterima adalah hasil subsidi silang dari kesemrawutan anggaran dan realisasinya.

  3. Orang yang tidak suka sesuatu berjalan tidak sesuai dengan rencana atau anggaran yang jauh-jauh hari telah ditetapkan. Dalam rencana anggaran tertulis beli komputer Rp. 20 juta, ternyata harga sebenarnya hanya Rp. 5 juta, dan akhirnya sisanya dipakai untuk keperluan lain yang di luar rencana (honor, tunjangan, beras atau minyak goreng untuk karyawan).

  4. Orang yang tidak tega memalak teman-temannya yang menjadi rekanan bisnis institusinya, dengan meminta kuitansi seharga Rp. 50 juta, padahal nilai pengadaan barang/jasa sebenarnya hanya seharga Rp. 25 juta. Si rekanan bisnis ini karena marginnya kecil, jadi ngemplang pajak, karena memang dia tidak menerima duwit sebesar itu. Perusahaannya bangkrut karena nggak kuat bayar pajak, akhirnya dia buat perusahaan lagi dan ngurus jadi rekanan lagi. Muter-muter terus coi … :(

  5. Anak muda yang cerdas, berwawasan dan bisa mengeluarkan dan merangkumkan ide (pendapat) yang lebih brilian dan strategis daripada eselon diatasnya (eselon 4, 3, 2, 1) atau bahkan seorang menteri. Si anak muda ini ketika bertemu dengan bos yang tidak tepat akan disebut bahwa idenya terlalu strategis dan kurang tepat dengan golongannya yang rendah dan cocok untuk permasalahan teknis ;)

  6. Orang yang tidak suka dirinya dan hasil kerjanya dinilai hanya dari absensi. Atau lebih lagi bagi orang yang tidak bisa kerja kalau sebelum kerja harus njeglok mesin absensi ;) Apa yang anda perbuat, membuat proposal setebal kamus oxford, kerja lembur sampai subuh, membuat kerjasama dengan institusi atau organisasi di luar negeri, atau mengharumkan nama institusi karena anda berprestasi di luar, semua tidak akan dipandang kalau absensi anda jeblog. Kalau anda protes, maka anda akan diminta membaca UU No 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dan PP No 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Kalau perlu bacanya sambil nyungsep di laut saja mas … :(

  7. Orang yang merasa kurang apabila bekerja sehari hanya 4 jam. Karena kemungkinan anda akan datang jam 8 pagi, njeglok absen, sarapan pagi sambil ngobrol sampai jam 10. Istirahat siang jam 12, kembali ke kantor jam 13:15, dan adzan sholat ashar jam 15:15 merupakan bel pulang kantor.

  8. Orang yang memiliki jiwa enterpreneur dan selalu melihat segala peluang sebagai peluang yang kemungkinan bisa menjadi bisnis. Ketika jiwa enterpreneur ini diimplementasikan di tempat yang tepat hasilnya akan positif, tetapi apabila diimplementasikan di institusi pemerintah tempat bekerja, bisa jadi sumber korupsi yang maha dahsyat dan mengerikan. Orang ini diharapkan ketika melihat berjubelnya pendaftaran PNS dan mendengar keluhan 4 juta PNS di Indonesia tentang gaji mereka yang rendah selalu berpikir untuk mempunyai perusahaan dan bisa membuka lapangan kerja baru bagi 4 juta orang di Indonesia. Mungkin posisi itu lebih tepat.

Saya yakin bahwa sebagai anak bangsa, baik posisi kita ada di dalam maupun di luar institusi pemerintah, kita ingin dan sama-sama berdjoeang membuat republik kita ini lebih baik, lebih maju, lebih sejahtera dan disegani bangsa-bangsa lain. Seperti yang sudah saya sitir diatas, kadang PNS bukanlah pelaku, tetapi sebenarnya juga menjadi korban. Masih banyak “PNS-PNS lurus” yang siap melakukan perbaikan di negeri ini. Mari kita melakukan perbaikan semampu kita, baik dengan lisan, hati maupun dengan tangan. Dan jangan lupa untuk mensyukuri segala nikmat dan keadaan yang sudah Allah berikan kepada kita.

Wallahualam bisshawab.


Pegawai Kita Harus Bekerja Sesuai Standar LSM


Masalah kinerja dan profesionalisme sumberdaya manusia (SDM) UIN Jakarta diharapkan akan meningkat setelah menjadi Badan Layanan Umum atau BLU. Begitu juga dengan meningkatnya kesejahteraan pegawai, yang menjadi sasaran efektivitas penerapan BLU. Untuk mengetahui bagaimana arah pengembangan SDM UIN Jakarta setelah BLU, berikut wawancara Nanang Syaikhu dari UIN Online dengan Kepala Biro Administrasi Umum dan Kepegawaian Drs Hamid Sholihin MPd.


UIN Jakarta dalam waktu dekat ini akan menjadi BLU. Perubahan-perubahan apa saja yang nanti perlu dila-kukan terkait dengan bidang pelayanan dan sumberdaya manusia (SDM)?


Pertama, BLU itu sendiri memberikan keleluasaan dalam swakelola keuangan, dari yang sela­ma ini disetorkan ke kas negara menjadi ada kewenangan untuk diberdayakan oleh lembaga itu sen­diri. Tapi akuntabilitasnya tetap ditun­tut karena nanti akan diaudit oleh akuntan publik.


BLU juga mempunyai impli­kasi-implikasi lain, yang menurut saya, lembaga ketika itu sudah harus ada yang berubah. Misalnya dari sekadar lembaga yang hanya “menghabiskan” uang, dalam arti habis sesuai peruntukkannya, men­jadi lembaga yang menghasil­kan uang. Jadi ketika sudah menjadi BLU, UIN Jakarta harus berubah menjadi semacam corporate.


Kedua, ketika menjadi BLU nanti juga harus didukung dengan kinerja yang tinggi. Sebab, kita tak bisa bekerja dengan standar yang ada sekarang, atau orang bilang standar PNS. Tapi kita harus beker­ja sesuai standar LSM atau NGO, bekerja dengan tanpa mengenal waktu serta memiliki target terten­tu. Dengan kata lain kita bekerja harus berorientasi kepada produk. Yang lebih penting lagi, ada ke­harusan bahwa kita perlu mene­rapkan pelayanan manajemen ber­basis mutu. Kalau tak begitu akan sulit. Tolok ukur keberhasilan itu apa? Kan selama ini kita juga belum tahu hebatnya UIN Jakarta itu di mana. Nah, melalui standar-standar tersebut kita bisa menga­takan bahwa melalui BLU ada stan­dar yang harus dilaksanakan sebagai tolok ukur keberhasilan agar kita bekerja menjadi lebih produktif lagi.

Apa selama ini Anda melihat SDM kita masih banyak yang (katakanlah) bermental PNS?


Kalau di Biro AUK saya tak bisa bicara lebih dari itu. Sekarang ini kita sedang menyiapkan diri untuk memberikan pelayanan di lingkungan Biro AUK yang berba­sis manajemen mutu. Semua pe­ker­jaan yang ada di Biro AUK se­dang kita telaah, apa saja yang harus dilakukan, semua dibuat standard operational procedure atau SOP–nya. Dalam BLU, standar itu disebut pelayanan minimal. Nah, kalau sudah menjadi BLU tapi tak diba­rengi dengan standar itu akan ter­jadi kebingungan, apa yang harus dikerjakan. Kalau hal ini tidak dila­kukan ya hasilnya akan sama saja dengan sebelumnya.

Apakah nanti akan ada perubahan dalam tupoksi juga?
Jelas, nanti akan ada arah ke situ. Jika sudah BLU, maka yang lebih dikedepankan itu adalah pe­layanan. Artinya pelayanan kita harus bisa menjadikan stakeholders menjadikan kepuasan-kepuas­an yang standar dan sesuai keten­tuan. Jadi orientasinya ke sana, bukan sekadar melaksanakan tu­gas. Hal ini sudah diatur oleh Depar­temen Agama, salah satunya adalah dengan menerapkan stan­dar pelayanan prima. Sebabnya, saat ini orang banyak membutuh­kan kepastian. Misalnya saja, saya mengurus ini nih berapa hari sih?

Kalau begitu perlu ada perampingan birokrasi?
Saya kira arahnya belum ke situ (perampingan birokrasi, Red). Tapi kalau memang diperlukan penambahan pegawai ya no pro-blem. Sebab ada atur­an, dalam BLU di sam­ping kita tetap me­mi­liki PNS ada juga pega­wai tetap BLU. Jadi kalau ke soal peram­ping­an biro­krasi itu be­lum kita lakukan.


Bagaimana dengan masalah potensi pegawai UIN Jakarta saat ini?


Masalah ini, pertama, SDM kita saya kira cukup potensial dan memiliki motivasi bagus. Hanya yang perlu ditekankan di sini, sebe­rapa jauh atasan masing-masing (unit) mampu menggerakkan me­re­ka (para pegawai, Red). Kedua, seberapa besar dan intens atasan masing-masing memperhatikan SDM tersebut. Jadi, yang saya lihat di UIN Jakarta ini tak ada pegawai yang tidak bermutu, semua hanya tergantung kepada atasan masing-masing saja. Bahwa dikatakan SDM kita potensial, dapat dilihat dari, misalnya, ketika kita belum biasa bekerja dengan komputer, sekarang rata-rata sudah beradap­tasi dan bisa bekerja dengan kom­puter. Walaupun demikian, kita sedang mengupayakan bahwa ke depan kita akan merekrut SDM dari lulusan-lulusan terbaik di sam­ping terus memotivasi pegawai yang ada.


Ada prinsip bahwa memanfaatkan pegawai itu harus the right man on the righ place. Nah, apakah hal itu akan menjadi acuan untuk merekrut setiap pegawai?

Itu pasti. Sekarang tidak lagi asal rekrut. Rekrutmen CPNS, baik tenaga dosen maupun administra­si, itu harus sesuai dengan kebu­tuh­an. Misalnya kalau yang lo­wong itu tenaga akuntan, kita akan isi dengan lulusan akuntansi. Bah­kan kalau bisa kita akan mendapat­kan dari lulusan terbaik dan dari pergu­ruan tinggi yang terbaik pula. Sebagai contoh, rekrutmen CPNS dosen tahun ini kita menguyapa­kan bagaimana mereka (calon dosen, Red) yang terjaring itu ber­asal dari lulusan terbaik dan dari PT terkemuka se­perti UIN Jakarta, UI, UGM, ITB, IPB, dan ITS. Itu yang kita harap­kan. SDM tenaga adminitsrasi juga begitu. Jadi, saya kiri ini sebuah kebijakan yang akan terus menerus kita laksanakan di Biro AUK.

Untuk meningkatkan kinerja pega­wai, apakah selama ini ada upaya untuk meng-up grade mereka,misalnya in house training?


Jelas ada. Karena rektor sendiri sudah menggariskan kebijakan hal itu. Bahkan beliau sudah menyam­paikan kepada kita bahwa dalam rangka meningkatkan kinerja pega­wai, baik dosen maupun tenaga administrasi, perlu ada peningkat­an pengetahuan dan keterampilan. Pada 2008 nanti, insya Allah kita akan mengadakan in house training atau on job training. Termasuk untuk mendatangkan pakar-pakar di bidangnya.

Oya, bagaimana dengan masalah struk­tur organisasi. Apakah di antaranya juga ada perubahan?


Ketika UIN Jakarta sudah men­­jadi BLU hal itu akan difokus­kan kepada kebutuhan, misalnya dengan adanya Badan Audit Internal. Sebab dalam pengelolaan keuangan itu kita memang harus akuntabel. Kemudian, di situ juga ada unit bisnis. Unit ini untuk men­­dukung dan sekaligus me­nun­­jukkan bahwa dalam BLU itu, seba­gian dari anggaran yang kita pergu­nakan berasal dari unit-unit bisnis.

Termasuk di antaranya menghilankat unit-unit kerja yang kurang efektif?

Kita tak menghilangkan unit-unit yang ada. Artinya struktur UIN Jakarta sekarang tetap sesuai dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 414 Tahun 2004. Hanya saja memang ada penambahan-penambahan sesuai dengan kebutuhan BLU. Salah satunya adalah Badan Pengawas yang memang diperlukan sesuai PP No 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU. Dalam PP tersebut di antaranya dijelaskan bahwa salah satu persyaratan menjadi BLU harus ada Badan Pengawas.

Dari unsur mana saja yang duduk dalam Badan Pengawas tersebut?

Badan Pengawas diisi dari unsur pemerintah, dalam hal ini Depag dan Depkeu yang profesional di bidangnya. Mereka juga adalah orang-orang yang memiliki sertifikasi di bidang akuntansi.


Terakhir. Apa harapan utama setelah BLU?

UIN Jakarta harus semakin berkembang dan maju serta diperhitungkan di dunia luar. Selain itu, juga dapat lebih mudah mencapai world class university. Yang tak kalah pentingnya adalah meningkatnya kesejahteraan para pegawai. Kesejahteraan itu tentu tak hanya diukur dengan uang tapi juga kesejahtreraan lainnya, seperti kesempatan untuk meningkatkan pengetahuan dan mendapatkan pelatihan.*


Tanggapan atas artikel Romi di blog Romi Satrio Wahono dengan tema : PNS Tidak Cocok Untuk... - 29/04/07 (10:06 WIT)

Berikut ini adalah tanggapan saya yang panjang lebar atas sebuah artikel yang dirilis di blog Romi Satrio Wahono (http://www.romisatriowahono.net) pada tanggal 28 Juni 2006. Artikel tersebut saya ketahui saat kutipannya dilansir di Intra LIPI oleh salah satu sivitas LIPI. Artikel tsb cukup menggelitik saya, khususnya karena Romi adalah adik kelas saya di program pengiriman karyasiswa SMA era Habibie, sekaligus dia juga yunior di LIPI meski berbeda satuan kerja. Bagi yang tertarik bisa membaca artikel asli di http://romisatriawahono.net/2006/06/28/pns-tidak-cocok-untuk/.

Halo Romi !

Saya senang sekali membaca blognya Romi ini. Saya tahu karena ada kawan yang posting di Intra LIPI. Kita buka-bukaan saja ya, toh memang tidak perlu ada yang disembunyikan. Saya sangat memahami isi hati Romi, karena kita seinstitusi meski lain lembaga, dan kebetulan juga saya seniornya dengan jalur yang sama. Bahkan dengan background yang jauh lebih ada alasan untuk berhenti jadi PNS daripada Romi…;-). Juga waktu awal Romi pulang kita sering bertukar pikiran.

  1. Meski artikel Romi ada nuansa men-discourage generasi muda mendaftar jadi PNS, saya yakinkan bahwa kami, minimal di LIPI, masih memerlukan kalian yang pintar, bersemangat dan siap berjoeang. Untuk itu, seperti penerimaan CPNS tahun lalu, sistem Penerimaan CPNS LIPI saya jamin bersih dan untuk pertama kalinya di Indonesia semua full online. Jadi boro-boro bayar segala, antrian yang bisa bikin pingsanpun tak ada. Ini sebagai langkah awal untuk mendapatkan kandidat terbaik. Sebab permasalahan laten di PNS adalah SDM yang memble akibat proses rekrutmen selama ini yang tidak transparan. Sialnya ini sudah berlangsung sepanjang era Orba sehingga beberapa generasi sudah terlanjur terisi oleh orang-2 yang bermasalah dengan kompetensi payah. Meski tidak semua, tetapi benar bahwa yang bagus itu hanya minoritas.

  2. Bagaimananpun perubahan tidak bisa dilakukan hanya dari luar oleh sistem. Karena sistem yang ada turun temurun tsb memang banyak sekali buruknya sebagai warisan Orba. Perubahan terbesar harus dari dalam dan dilakukan oleh sivitas internal. Untuk itulah diperlukan superman-2 di dalam. Hal ini saya rasakan benar sejak berada di LIPI sejak 2002. Untuk itu memang harus ada ambang batas jumlah kawan yang pintar dan punya dedikasi untuk break event point melakukan perubahan. Saat ini saya merasa, minimal di tempat saya bekerja, sudah mendekati ambang batas itu sehingga perubahan bisa semakin dipercepat. Orang-2nya sebenarnya juga kawan-2 sendiri yang dari jalur yang sama dengan saya dan Romi. Asal ada 10 persen saja yang bagus itu sudah cukup, sebab yang 90 persen itu hanya follower, sedangkan yang 10 persen itu yang menjadi kunci perubahan sistem. Dalam konteks ini, saya mohon anak-2 muda yang masih smangat dan pinter daftar jadi PNS LIPI yah, please….! Karena Anda calon penambah ambang batas sivitas pelaku perubahan ! Saat ini seluruh tim saya, baik di lembaga saya maupun di Tim Gabungan Jaringan (TGJ) LIPI diisi anak-2 muda yang masuk tahun 2005 dan 2006.

  3. Sayangnya, seperti kasus Romi, calon superman-2 tidak selalu masuk di tempat yang tepat. Sehingga kemampuan supernya tidak sempat tereksplorasi dan mendapat timing menjadi ikon perubahan. Apalagi untuk perubahan yang membutuhkan “sedikit revolusi”. Meski ada juga perubahan yang harus dilakukan agak lambat dan berhati-hati, sebagian besar harus ekstrim dan dilakukan dengan cepat dan drastis. Sebab kalau tidak akan kehilangan momentumnya. Karena setiap perubahan, apalagi terhadap sistem yang sudah laten, pasti menimbulkan resistensi.

  4. Sejauh yang saya jalani, khususnya di lembaga akademis seperti lembaga saya, saya merasa masih bisa melakukan perubahan. Itu mungkin karena sivitasnya yang relatif lebih akademis. Perubahan memang lebih sulit untuk lembaga yang sifatnya lebih administratif, seperti lembaga tempat Romi. Apalagi departemen-departemen, nggak kebayang deh…

  5. Sebagai person untuk mendorong perubahan, memang harus berlaku bak superman. Apalagi untuk “superman pionir”, harus jadi super-superman ! Beruntunglh kalau Anda bisa langsung masuk di tempat yang sudah ada supermannya. Anda tinggal ikut gerbong. Khusus untuk superman pionir, harus keep yourself perfect minimal di mata sivitas dan “berani mati”. Karena Anda harus menjadi contoh. Karena perubahan ekstrim, atau bahasa bisnisnya turn-around, harus dilakukan secara ekstrim dan “sedikit” otoriter supaya tidak kehilangan momentum. Persis seperti Lee Kuan Yew atau Mahathir waktu pertama kali memimpin negaranya yang saat itu sebenarnya tidak lebih baik dari Indonesia. Setelah stabil dan oke baru otoriternya dilepas (asal jangan kelupaan). Agar kebijakan yang otoriter tsb bisa diterima itulah perlu keteladanan dan menjadi panutan sehingga sivitas trust pada Anda. Apalagi untuk PNS yang umumnya memang krisis teladan….;-(. Dalam konteks ini Romi dkk (Hendro dll) punya kelemahan waktu itu yah karena S3-nya tidak terselesaikan, padahal itu mutlak untuk lembaga akademis seperti LIPI….;-(.

    Kalau saya sejak awal prinsipnya maju terus, nggak perduli tabrak sana tabrak sini. Karena prinsip saya nothing to loose. Pilihan saya hanya dua, hancurkan sekarang dapat hasil atau kalau gagal keluar dari LIPI. Toh, kalau tidak begitu, kemudian saya frustasi akhirnya keluar juga. Jadi daripada keluar tanpa ngapa-ngapain, mending keluar setelah “berlumuran darah” tabrak sana tabrak sini…. Untuk itu kita harus konsekuen, saya dulu tidak pernah ikut proyek apapun, sehingga kita lebih netral dan bebas. Sebagai gantinya ya cari grant-2 dari kolehga di luar negeri. Sampai sekarangpun saya tidak peduli punya proyek penelitian dengan dana LIPI atau tidak. Pokoknya harus semandiri mungkin sehingga kita tidak mudah ditekan. Masalah ikut proyek atau tidak ini sebenarnya kunci. Untuk calon superman saya sarankan tidak ikut (jadi Penannggung-jawab). Kalau tidak, posisi Anda akan terkunci dan sudah skak-mat tuh…

    Lebih dari itu, saya nggak ambil pusing dengan honor tambahan dll. Mau dikasih honor ok, nggak juga nggak apa-apa. Justru karena tidak ada proyeknya, apa yang sudah dikerjakan dan tidak mendapat imbalan tidak menjadikan sakit hati, lha wong sejak awal memang niat ingsun volunteer kok…

Kesimpulannya : untuk mampu melakukan perubahan ada beberapa faktor.

  1. Tempat dan timing yang pas, lebih enak kalau sudah ada superman pionir disitu. Kalau tidak Anda harus menjadi pionirnya.
  2. Untuk jadi superman pionir : punya modal “kekuatan moril” berupa pendidikan dan track-record (bersih, di bidangnya, dll). Ini sebabnya perusahaan yang kolaps akan mencari eksekutif hebat dan terkenal untuk melakukan turn-around, supaya seluruh sivitas bisa dimobilisasi iku gerbong perubahan. Kalau sudah ada superman pionir, Anda cukup menambah “bekal dan track-record” untuk menjadi superman baru.
  3. Berani bersikap nothing to loose dan harus mandiri. Itu sebabnya sebelum balik ke Indonesia, selama di LN harus mempersiapkan diri (ekonomi, kepakaran, koneksi sumber dana, dll). Ini supaya kita bisa kerja volunteer di dalam lembaga dan tidak mengharapkan apapun.

Nah, kalau Anda tidak memiliki 3 poin diatas. Cobalah dulu melakukan perubahan, paling lama selama 2 tahun. Kalau tidak bisa, segera tentukan pilihan hidup ! Pokoknya jangan setengah-2 ! Kalau keluar ya keluar aja…. Sebab masa puncak seseorang ada batasnya, setelah usia tertentu hukum alam mengajarkan kurva selalu berbentuk parabola terbalik dan tidak linear ke atas terus…. Sehingga dalam usia puncak ini segera manfaatkan potensi Anda, apakah sebagai PNS atau sebagai entitas non-PNS. Yang penting berprestasi, karena itulah yang diharapkan dan diperlukan negeri ini !

Comment Posted By LT Handoko On 25.07.2006 @ 09:00


Betul memang degree tidak penting. Saya juga tidak mementingkn itu. Tetapi itu perlu sebagai “modal awal”, khususnya kalau mau menjadi superman melakukan perubahan internal di lembaga akademis. Kalau kontribusi non-akademis saya pikir oke tanpa itu. Tapi kalau di lembaga macam LIPI atau univ itu mutlak. Bagaimana mau buat perubahan membuat kurikulum kuliah yang baik kalau kita tidak pernah bisa menjadi dosen tetap karena hanya S1 misalnya…

Poin saya diatas adalah : untuk kasus Romi itu merupakan salah satu “cacat” yang mengurangi keteladanan dan trust. Memang tidak ada manusia sempurna, tetapi untuk mengajak orang berubah kita harus “bersih” dan menjadi contoh. Dalam konteks Romi di LIPI : ya harus menyelesaikan studi, punya track record akademis, track record pekerjaan bagus (ini sudah ada khan), dsb…. Kalau bukan di LIPI ya mungkin lain lagi lah...

Untuk Bang Parlin Pasaribu, saya setuju sekali kalau perubahan harus dilakukan oleh Presiden dsb. Tapi kalau menunggu itu ya seperti menunggu godot. Yang saya ungkapkan adalah bahwa masih banyak celah yang bisa dan harus dilakukan dalam level kita dan grup kita. Pengalaman saya justru menunjukkan perubahan terbesar itu ada di tangan kita sendiri. Ini jauh lebih cepat dan yang atas akan terdesak mengikutinya setelah itu.

Justru pandangan top-down itu merupakan mental tinggalan Orba… Itu juga yang menjawab mengapa meski ada kebijakan ini itu, tetap saja birokrasi tidak berubah. Karena memang yang lebih banyak diperlukan, dan ini lebih sulit, adalah ikon perubahan di level grass-root dalam internal birokrasi. Itulah sebabnya di jaman ini gerakan akar rumput macam LSM itu makin penting. Ini sebenarnya salah satu ciri demokrasi yang mulai berjalan, termasuk dalam birokrasi. Kalau negara otoriter macam Cina memang semuanya harus top-down. Khususnya di lembaga akademis macam Puslit-puslit di LIPI ini lebih subur karena secara birokrasi ketergantungan pada atasan rendah, berbeda dengan di departemen atau lembaganya Romi yang lebih bersifat administratif dan struturalnya kental.

Sebenarnya secara umum PNS yang jadi guru, dosen dsb juga sama saja. Hanya Bang Parlin nggak tahu aja…;-). Tetapi persentase yang bermasalah memang lebih rendah karena ada tuntutan profesionalisme sesuai karakteristik pekerjaan. Di LIPI, BPPT dsb kalau untuk kalangan peneliti juga demikian. Yang masalahnya banyak memang di bagian yang sifat pekerjaannya umum dan administratif. Itulah mengapa yang bermasalah di Departemen jauh lebih banyak karena kelompok profesional disitu hanya minoritas.

Kayaknya setelah masuk Intra LIPI, blog kamu bakalan makin rame lho Rom, he… he… ;-)


Sulitnya Mencari "Malaikat Kecil"

Date 2007/7/2 15:47:10 | Topic: White Papers

Korupsi yang sudah mengakar tidak bisa diberangus hanya mengandalkan penegak hukum biasa. Perlu orang yang berani dan berintegritas. Sebagian besar kalangan sepakat, korupsi merupakan bentuk kejahatan tindak pidana luar biasa (extraordinary crime). Disebut demikian karena umumnya dilakukan secara sistematis, ada aktor intelektual, melibatkan stakeholder di suatu wilayah, termasuk melibatkan aparat penegak hukum. Dampaknya pun sangat merusak dalam spektrum yang luas. Bahkan, di beberapa negara –termasuk Indonesia– korupsi telah menjadi ”bahaya laten”yang sulit diberantas.


Karakteristik korupsi yang sudah terbentuk sedemikian sistematis membuat pemberantasannya pun harus lebih sistematis pula. Lagi-lagi, tidak bisa hanya mengandalkan aparat penegak hukum biasa. Terlebih jika korupsi tersebut sudah membudaya dan menjangkiti seluruh aspek dan lapisan masyarakat. Termasuk si penegak hukum itu sendiri.

Di sejumlah negara yang disebut-sebut telah berhasil memerangi korupsi, seperti Finlandia, gerakannya dimulai dari komitmen rakyat dan pemimpinnya. Lalu, diturunkan dalam berbagai kebijakan. Selain dalam bentuk undang-undang (UU), komitmen ini juga diwujudkan dalam pembentukan badan khusus yang bersifat independen.

Pembentukan badan ini sendiri akibat tidak berkutiknya lembaga penegak hukum yang ada dalam memberantas korupsi. Inilah yang mendasari Indonesia pada Desember 2003 membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Meski KPK telah terbentuk dan payung hukum untuk memberantas korupsi telah ada sejak 1960 (UU No 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi) hingga UU No 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Peraturan Pemerintah No 63/2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK, yang namanya korupsi tetap sulit diberangus.

Tak pelak, Ketua KPK Taufiequrachman Ruki mengibaratkan, memberantas korupsi layaknya bertarung di medan perang. Ya,sebuah perang yang berdimensi sangat luas. Bukan hanya bicara korupsi di masa lalu, tapi juga masa kini dan masa depan. ”Bicara tentang pencegahan korupsi, bicara bagaimana ke depan agar tidak korupsi lagi, bicara pendidikan masyarakat dan segala macam dalam rangka itu (memberantas korupsi),” ujar Taufiequrachman Ruki, yang ditemui SINDO di kantornya, pekan lalu.

Lulusan terbaik Akademi Kepolisian 1971 itu pun menegaskan, untuk memberantas korupsi tidak bisa hanya mengandalkan KPK. Lembaga yang dipimpinnya saat ini sudah ”menyalakan lilin” untuk memerangi korupsi. Setidaknya, langkah itu juga harus dilakukan lembaga lainnya, seperti Lembaga Keuangan, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Departemen Dalam Negeri, Lembaga Imigrasi, Gubernur, Bupati, dan lembaga lainnya, termasuk masyarakat.

”Kalau semua lilin menyala, insya Allah negara ini tidak akan terlalu lama menderita karena korupsi. Tidak perlu menunggu 20 tahun,” tuturnya. Penasihat KPK Abdullah Hehamahua mengungkapkan, berdasarkan peta korupsi di Indonesia dan tugas KPK, pembangunan sistem merupakan keniscayaan yang tidak bisa ditawar-tawar yang secara internal dimulai dengan capacity building, baik menyangkut sumber daya manusia (SDM), infrastruktur, manajemen kinerja maupun masalah renumerasi.

Di bidang SDM, Abdullah menjelaskan, kualifikasi pegawai KPK harus memenuhi 4Q secara berimbang, yaitu IQ (IP minimal 3.0 dan Toefl harus 400), emotional quotient (EQ), spritual quotient (SQ) dan physical quotient (PQ).Itu sebabnya,meski sudah memasuki tahun keempat, di KPK masih ada jabatan deputi dan direktur yang kosong. Ini sebagai konsekuensi logis dari keharusan mendapatkan insan-insan ”malaikat kecil” yang berkiprah di KPK.

Di sektor keuangan, KPK menerapkan pola penggajian sistem merit, yaitu gaji disesuaikan kompetensi pegawai dan bobot pekerjaan yang dihadapi di mana tunjangan tidak melebihi 1/3 dari gaji pokok. Dibanding pejabat dan PNS pada umumnya, gaji pegawai KPK relatif lebih tinggi, tetapi dengan ketentuan : pejabat dan pegawai KPK tidak memperoleh rumah dan kendaraan dinas, tidak mendapat uang pensiun, dan harus membayar sendiri pajak penghasilan.

”Secara eksternal, pada awal 2006, KPK yang dibentuk sejak Desember 2003 telah merekomendasikan kepada presiden untuk melakukan proses percepatan pembaharuan tata kelola pemerintahan, yang berintikan, restrukturisasi kelembagaan agar instansi pemerintah dan lembaga negara lebih ramping sehingga terjadi penghematan keuangan, sekaligus berdaya guna dan berhasil guna. Penataan manajemen pemerintahan yang terfokus pada sumber daya manusia (SDM), keuangan, informasi teknologi (IT), dan pengelolaan aset negara,” tutur dia.

Strategi eksternal berupa reformasi birokrasi di atas, secara bertahap dimulai dari Mahkamah Agung, disusul dengan Kepolisian, Kejaksaan, dan TNI. Pada waktu yang sama, dibenahi instansi dan lembaga pelayanan publik,seperti perpajakan, bea cukai, imigrasi, dan pertanahan sehingga dengan lembaga pelayanan publik yang bersih, pemasukan negara akan meningkat. Dengan pemasukan negara yang meningkat, pemerintah bisa meningkatkan kualitas pendidikan, kesehatan masyarakat, dan taraf hidup pegawai negeri sipil (PNS).

Pola Rekrutmen Pimpinan KPK

Taufiequrachman tidak bisa menyembunyikan keprihatinannya ketika melihat pendaftar calon Ketua KPK periode 2007–2011 masih sepi peminat. Maklum, dari target 1.000 calon yang diinginkan Panitia Seleksi (Pansel), hingga saat ini, baru terdaftar 192 orang. Pendaftaran telah dibuka sejak pertengahan Juni lalu dan akan berakhir pada 3 Juli mendatang. Dengan proses seleksi diperkirakan memakan waktu lima bulan hingga Desember mendatang.

”Saya sangat sedih dan tanda tanya besar, ada apa dengan KPK. Mengapa ketika orang belum tahu dan bagaimana KPK,yang mendaftar 540 lebih. Kok, setelah KPK berkiprah tiga tahun, malah tidak banyak yang berminat,” ujarnya. Meski begitu, pria kelahiran Rangkas Bitung, Banten, 18 Mei 1946, ini meminta kepada seluruh masyarakat untuk tidak memperdebatkan mengapa sedikit orang yang berminat menakhodai KPK.

Terpenting adalah mencari solusi keterbatasan sumber daya calon pimpinan KPK. Sementara itu, Abdullah mengungkapkan, sepinya peminat bisa jadi disebabkan proses seleksi yang cukup panjang.Terlebih, proses seleksi pimpinan KPK yang ditentukan dalam UU No 30/2002 menimbulkan sejumlah pro kontra. Pertama, persyaratan administratif yang masih berbau Orde Baru, misalnya harus ada surat kelakuan baik dari kepolisian.


Kedua, yang mau dicari Pansel, apakah pejabat (pegawai) KPK atau pimpinan KPK? Kalau yang mau dicari pegawai KPK, syarat formal, seperti ijazah tertentu diperlukan karena dianggap merupakan ”bukti” formal bahwa seseorang pakar di bidang tertentu sehingga bisa menjalankan tugastugas fungsional dengan baik. Tetapi, jika yang akan dicari Pansel adalah ”pemimpin”, persyaratan formalitas tidak menjadi utama. Terpenting adalah daftar riwayat hidup seseorang.

”Dari daftar riwayat hidup itulah,Pansel bisa mengetahui apakah seorang calon mempunyai keberanian, wawasan, integritas, kepemimpinan (leadership), dan siap mati syahid. Untuk meyakini hal tersebut,Pansel bisa mendapatkannya dari proses psikotes dengan calon terkait. Karena itu, selain menunggu calon yang mendaftar, Pansel bisa melalukan proses penjaringan para calon.

Dalam konteks ini, Pansel tidak perlu terpaku dengan batasan waktu, harus ditemukan 10 calon sebelum Desember 2007. Jika hanya ditemukan lima calon terbaik, pencarian harus diteruskan sampai menemukan 10 calon terbaik dari lebih 200 juta rakyat Indonesia. Ketiga, proses fit and proper test di DPR sebagai lembaga politik yang anggotanya adalah orang partai politik. Praktis, nuansa politik sangat dominan. Mestinya, anggota DPR sadar, ketika berada di Senayan, mereka bukan lagi milik partainya, tetapi sudah menjadi milik rakyat Indonesia.

Dengan demikian, dalam proses fit and proper test tersebut, tidak lagi didasarkan pada kepentingan partai atau golongan, tapi berdasarkan kepentingan nasional. Selain itu, DPR (Komisi III) juga perlu menggunakan jasa konsultan independen yang berpengalaman dalam proses rekrutmen SDM.

Konsultan inilah yang menyusun daftar pertanyaan utama (key question) kemudian diajukan oleh anggota DPR dengan improvisasi masing-masing anggota kepada calon pimpinan KPK.Dengan demikian, kewenangan fit and proper test tetap berada di tangan DPR dan SK pengangkatan pimpinan diterbitkan oleh Presiden sebagai Kepala Negara sehingga KPK sebagai lembaga negara yang independen, tetap tidak bisa dipengaruhi kekuasaan manapun.




Tidak ada komentar: